A. Falsafah "Sirik Na Pacce"
Sirik na pacce merupakan prinsip hidup bagi
suku Makassar. Sirik dipergunakan Untuk membela kehormatan terhadap orang-orang
yang mau memperkosa harga dirinya, sedangkan pacce dipakai untuk membantu sesama
anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan. Sering kita dengar ungkapan
suku Makassar yang berbunyi "Punna tena siriknu, paccenu seng paknia"
(kalau tidak ada siri'mu paccelah yang kau pegang teguh). Apabila sirikna pacce
sebagai pandangan hidup tidak dimiliki oleh seseorang, akan dapat berakibat orang
tersebut bertingkah laku melebihi tingkah laku binatang karena tidak memiliki
unsur keperdulian sosial, dan hanya mau menang sendiri.
1. Falsafah Sirik
Berbagai pandangan para ahii hukum adat
tentang pengertian sirik. Moh. Natsir Said menyatakan
bahwa sirik adalah suatu perasaan malu (krengking/belediging) yang dapat
menimbulkan sanksi dari keluarga (verwantensgroep) yang dilanggar norma
adatnya. Menurut Cassuto, salah seorang ahli hukum adat yang berkebangsaan Jepang
yang pernah meneliti masalah sirik di Sulawesi Selatan berpendapat: Sirik
merupakan pembalasan berupa kewajiban moral untuk membunuh pihak yang melanggar
adatnya.
Kodak VIII Sul-Selra bekerjasama dengan
Universitas Hasanuddin mengadakan seminar masalah sirik tanggal 11-13 Juli 1977
tela merumuskan: Sirik adalah suatu sistem nilai Sosial-kultural dan kepri
badian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat rnanusia
sebagai individu dan anggota masyarakat.
Kalau kita kaji secara mendalam dapat
ditemukan bahwa sirik dapat dikategorikan dalam empat golongan yakni: pertama, Sirik yang dalam
hal pelanggaran kesusilaan, kedua
sirik yang berakibat kriminal, ketiga
sirik yang dapat menirigkatkan motivasi seseorang untuk bekerja dan keempat sirik yang
berarti malu-malu (sirik-sirik). Semua jenis sirik tersebut dapat diartikan
sebagai harkat, martabat, dan harga diri manusia.
Bentuk
Sirik yang pertama adalah sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan. Berbagai macam
pelanggaran kesusilaan yang dapat dikategorikan sebagai sirik seperti kawin lari (silariang,
nilariang, dan erang kale), perzinahan, perkosaan, incest (perbuatan sumbang/salimarak)
yakni perbuatan hubungan seks yang dilarang karena adanya hubungan keluarga
yang terlalu dekat, misalnya perkawinan antara ayah dengan putrinya, ibu dengan
putranya dsb.
Dari
beberapa perbuatan asusila itu, maka incestlah/salimarak merupakan pelanggaran
terberat, sebab susah untuk diselesaikan karena menyangkut hubungan keluarga
yang terlalu dekat, semuanya serba salah. Kalau perkawinan terus dilangsungkan,
sangat dikutuk oleh masyarakat, dan kalau perkawinan tidak dilangsungkan,
status anak yang lahir nanti bagaimana ? Perbuatan salimarak ini dulu dapat
dikenakan hukuman "niladung' yakni kedua pelaku dimasukkan dalam karung
kemudian ditenggelamkan kelaut atau ke dalam air sampai mati.
Lain
halnya perbuatan asusila lainnya seperti perzinahan, perkosaan, dan kawin lari
Penyelesaiannya dapat dilakukan melalui perkawinan secara adat kapan saja,
bilamana kedua belah pihak ada persetujuan atau mengadakan upacara abbajik (damai).
Sesudah itu tidak ada lagi masalah.
Sejak
dari dulu hingga sekarang, perbuatan asusila ini sering kali dilakukan oleh orang-orang
tertentu, oleh suku Makassar perbuatan tersebut dianggapnya melanggar sirik.
Bila perbuatan asusila terjadi, pihak yang dipermalukan (biasanya dari pihak
perempuan yang disebut Tumasirik) berhak untuk mengambil tindakan balasan pada
orang-orang yang melanggar siriknya yang disebut "TumannyaIa'.
Jadi, kalau ada anggapan orang luar yang
mengatakan sirik itu "kejam" atau "jahat" memang demikian,
akan tetapi dibalik kekejaman itu tersimpan makna hidup yang harus dimiliki
oleh manusia untuk menjaga harga dirinya, lebih kejam atau lebih jahat,
bilamana ada anak yang lahir tanpa ayah. anak haram, kemana anak ini harus
memanggil ayah ? Apalagi kalau perbuatan asusila membudaya di negara kita,
jelas harkat dan martabat manusia lebih rendah dari pada binatang. Dikatakan
demikian, karena binatang melakukan hubungan seks bebas karena memang nalurinya,
sedangkan manusia punya otak, pikiran untuk membedakan mana yang baik dan mana
yang salah. Alangkah jahatnya bila perbuatan free seks atau "kumpul
kebo", membudaya di negara kita, berapa banyak wanita yang harus jadi
korban kebuasan seksual ? Justru kehadiran sirik di tengah masyarakat dapat
diJadikan sebagai penangkal' kebebasan seks (free sex)
Jenis sirik yang kedua adalah sirik yang
dapat memberikan motivasi untuk meraih sukses. Misalnya, kalau kita melihat
Orang lain sukses, kenapa kita tidak? Contoh yang paling konkret, suku Makassar
biasanya banyak merantau ke daerah mana saja. Sesampai di daerah tersebut
mereka bekerja keras untuk meraih kesuksesan, Kenapa mereka bekerja keras ?
Karena mereka nantinya malu bilamana pulang kampong tanpa membawa hasil.
Salah satu syair lagu Makassar yang berbunyi:
'Takunjungngak bangung turuk nakugincirik
gulingku, kualleanna tallanga natoalia. (Tidak begitu saja ikut
angin buritan, dan kemudian saya putar kemudiku, lebih baik tenggelam dari pada
balik haluan). Bangung turuk, adalah istilah pelayaran yang berarti
angin buritan.
Demikian pula dalam ungkapan Makassar
berbunyi:
'Bajikanngangi mateya ri pakrasanganna taua
nakanre gallang-gallang na amimotere natena wasselekna' (lebih
balk mati dj negeri orang dimakan cacing tanah, daripada pulang kampung tanpa
hasil), maksudnya kalau merantau lalu pulang tanpa hasil, akibatnya akan
dicemoohkan oleh masyarakat di daerahnya, tapi kalau ia meraih sukses, maka ia
dapat dijadikan sebagai teladan bagi masyarakat lainnya.
Salah satu contoh orang Makassar yang
merantau karena sirik yakni Karaeng
Aji di Pahang.
Dia merantau pada Abad XVIII karena sirik. Di Pahang, ia berhasil menjadi
Syahbandar Kesultanan. Kemudian, turunannya bemama Tun Abdul Razak berhasil menjadi Perdana Menteri
Malaysia. )
Jenis sirik yang ketiga adalah sirik, yang
bisa berakibat kriminal. Sirik seperti ini misalnya menempeleng seseorang di
depan orang banyak, menghina dengan kata-kata yang tidak enak didengar dan
sebagainya tamparan itu dibalasnya dengan tamparan pula sehingga terjadi
perkelahian yang bisa berakibat pembunuhan.
Ada anggapan Orang luar bahwa orang Makassar
itu "Pabbambangangi na tolo" (pemarah lagi bodoh). Anggapan
seperti ini bagi orang Makassar tidaklah sepenuhnya benar, karena tindakan
balasan yang dilakukannya bukan karena mereka bodoh, akan tetapi semata-mata
ingin membela harga dirinya. Adalah lebih bodoh bila dipermalukan di muka umum
lantas diam saja tanpa ada tindakan apa-apa. Yang jelas, memang marah karena
harga dirinya direndahkan di depan umum, tapi bukan berarti bodoh.
Jika Orang Makassar merasa harga dirinya
direndahkan, jelas mereka akan mengambil tindakan pada orang yang mempermalukan
itu. Ada ungkapan orang Makassar "Eja tonpi seng na doang" (nanti
setelah merah, baru terbukti udang) maksudnya kalau siriknya orang Makassar dilanggar,
tindakan untuk menegakkan sirik itu tidaklah dipikirkan akibatnya dan nanti
selesai baru diperhitungkan. Ungkapan inilah yang mendorong orang Makassar untuk
menjaga kehormatan diri.
Jenis sirik yang keempat adalah sirik yang
berarti malu-malu. Sirik semacam ini sebenarnya dapat berakibat negatifnya bagi
seseorang, tapi ada juga positifnya. Misalnya yang ada akibat negatif ialah
bila seseorang disuruh tampil di depan umum untuk jadi protokol, tetapi tidak
mau dengan alasan sirik'sirik, lni dapat berakibat menghalangi bakat seseorang
untuk berani tampil di depan umum. Sebaliknya akibat positif dari sirik-sirik
ini, misalnya ada seseorang disuruh untuk mencuri ayam, lalu dia tidak mau
dengan alasan sirik-sirik bilamana ketahuan oleh tetangganya.
Mengapa sirik bagi suku Makassar perlu ditegakkan,
jawabnya untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Yang menjadi
masalah dalam kehidupan manusia ialah adanya dua versi hukum yang saling
bertentangan, menyangkut sirik, yakni hukum adat Makassar menginginkan mengambil
tindakan balasan terhadap orang-orang yang merendahkan martabatnya dalam arti
kata bisa main hakim sendiri, sedang hukum positif (KUHP) melarang sama sekali melakukan
tindakan main hakim sendiri. Suatu prinsip bagi suku Makassar, kalau harga
dirinya direndahkan, akan melakukan tindakan balasan, Dalam ungkapan orang
Makassar "Teai Mangkasarak punna bokona lokok (Bukan orang makassar
kalau bahagian beiakangnya luka) maksudnya kalau luka itu ada di bagian
belakang berarti orang itu takut berhadapan dengan lawannya, dan sebali knya
kalau luka itu ada di bagian depan menandakan keberaniannya.
2. Istilah Pacce
Pacce secara harfiah bermakna perasaan pedih dan perih
yang dirasakan meresap dalam kalbu seseorang karena melihat penderitaan orang
lain. Pacce ini berfungsi sebagai alat penggalang persatuan, solidaritas,
kebersamaan, rasa kemanusiaan, dan memberi motivasi pula untuk berusaha, sekalipun
dalam keadaan yang sangat pelik dan berbahaya.
Dari pengertian tersebut, maka jelasnya bahwa pacce itu
dapat memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa, membina solidaritas antara
manusia agar mau membantu seseorang yang mengalami kesulitan. Sebagai contoh,
seseorang mengalami musibah, jelas masyarakat lainnya turut merasakan
penderitaan yang dialami rekannya itu. segera pada saat itu pula mengambil
tindakan untuk membantunya, apakah berupa materi atau nonmateri.
Antara sirik dan pacce ini keduanya saling mendukung
dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia, namun kadang-kadang salah satu
dari kedua falsafah hidup tersebut tidak ada, martabat manusia tetap akan
terjaga, tapi kalau kedua-duanya tidak ada, yang banyak adalah sifat kebinatangan.
Ungkapan orang Makassar berbunyi "Ikambe Mangkasaraka punna tena sirik
nu, pacce seng nipak bulo sibatangngang" (bagi kita orang Makassar
kalau bukan sirik, paccelah yang membuat kita bersatu).
B. Falsafah "Sipakatau"
Sesungguhnya budaya Makassar mengandung esensi nilai
luhur yang universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati
dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita menelusuri secara mendalam, dapat
ditemukan bahwa hakikat inti kebudayaan Makassar itu sebenarnya adalah bertitik
sentral pada konsepsi mengenai "tau" (manusia), yang manusia
dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial amat dijunjung tinggi
keberadaannya.
Dari konsep "tau" inilah sebagai esensi pokok
yang mendasari pandangan hidup orang Makassar, yang melahirkan penghargaan atas
sesama manusia. Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan melalui sikap budaya 'sipakatau'.
Artinya, saling memahami dan menghargai secara manusiawi.
Dengan pendekatan sipakatau, maka kehidupan orang
Makassar dapat mencapai keharmonisan, dan memungkinkan segala kegiatan
kemasyarakatan berjalan dengan sewajarnya sesuai hakikat martabat manusia.
Seluruh perbedaan derajat sosial tercairkan, tak ada perbedaan antara kaya dan
miskin, pimpinan dan bawahan, turunan bangsawan dan rakyat biasa, dan
sebagainya. Yang dinilai atas diri seseorang adalah kepribadiannya yang
dilandasi sikap budaya sipakatau.
Sikap Budaya Sipakatau dalam kehidupan orang Makassar
dijabarkan ke dalam konsepsi Sirik na Pacce. Dengan menegakkan prinsip Sirik na
Pacce secara positif, berarti seseorang.telah menerapkan sikap Sipakatau dalam
kehidupan pergaulan kemasyarakatan. Tanpa sikap Sipakatau, manusia akan menjadi
seperti binatang yang kejam terhadap sesamanya, kehilangan sifat manusiawinya.
Sipakatau dalam hidup kekerabatan, menjadi salah satu
faktor pembina struktur dan tatakrama pergaulan kemasyarakatan. Hanya dalam
lingkungan orang-orang yang menghayati dan mampu mengamalkan sikap hidup
Sipakatau yang dapat secara terbuka.saling menerima hubungan kekerabatan dan
kekeluargaan.
Sipakatau dalam kegiatan ekonomi, sangat mencela adanya
kegiatan yang selalu hendak "annunggalengi" (egois), atau
memonopoli lapangan hidup yang terbuka secara kodrati bagi setiap manusia. Azas
Sipakatau akan menciptakan iklim yang terbuka untuk saling "sikatallassi"
(saling menghidupi), tolong-menolong, dan bekerjasama membangun
kehidupan ekonomi masyarakat secara adil dan merata.
Demikianlah Sipakatau menjadi nilai etika pergaulan orang
Makassar yang patut diaktualisasikan di segala sektor kehidupan. Di tengah
pengaruh budaya asing yang cenderung menenggelamkan penghargaan atas sesama
manusia, maka sikap Sipakatau merupakan suatu kendali moral yang harus
senantiasa menjadi landasan. Hal ini meningkatkan budaya Sipakatau juga
merupakan tuntutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan azas
Pancasila, terutama Sila Ketiga yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar