"Punna Tena Siri'nu, Pa'niaki Paccenu (Kalau Anda Tak Memiliki Harga diri, Tunjukkanlah Kesetia-kawananmu)"

Selasa, 14 Mei 2013

FALSAFAH BUDAYA MAKASSAR

 A.   Falsafah "Sirik Na Pacce"


Sirik na pacce merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Sirik dipergunakan Untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau memperkosa harga dirinya, sedangkan pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan. Sering kita dengar ungkapan suku Makassar yang berbunyi "Punna tena siriknu, paccenu seng paknia" (kalau tidak ada siri'mu paccelah yang kau pegang teguh). Apabila sirikna pacce sebagai pandangan hidup tidak dimiliki oleh seseorang, akan dapat berakibat orang tersebut bertingkah laku melebihi tingkah laku binatang karena tidak memiliki unsur keperdulian sosial, dan hanya mau menang sendiri.


1.    Falsafah Sirik   


Berbagai pandangan para ahii hukum adat tentang pengertian sirik. Moh. Natsir Said menyatakan bahwa sirik adalah suatu perasaan malu (krengking/belediging) yang dapat menimbulkan sanksi dari keluarga (verwantensgroep) yang dilanggar norma adatnya. Menurut Cassuto, salah seorang ahli hukum adat yang berkebangsaan Jepang yang pernah meneliti masalah sirik di Sulawesi Selatan berpendapat: Sirik merupakan pembalasan berupa kewajiban moral untuk membunuh pihak yang melanggar adatnya.

Kodak VIII Sul-Selra bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin mengadakan seminar masalah sirik tanggal 11-13 Juli 1977 tela merumuskan: Sirik adalah suatu sistem nilai Sosial-kultural dan kepri badian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat rnanusia sebagai individu dan anggota masyarakat.

Kalau kita kaji secara mendalam dapat ditemukan bahwa sirik dapat dikategorikan dalam empat golongan yakni: pertama, Sirik yang dalam hal pelanggaran kesusilaan, kedua sirik yang berakibat kriminal, ketiga sirik yang dapat menirigkatkan motivasi seseorang untuk bekerja dan keempat sirik yang berarti malu-malu (sirik-sirik). Semua jenis sirik tersebut dapat diartikan sebagai harkat, martabat, dan harga diri manusia.

Bentuk Sirik yang pertama adalah sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan. Berbagai macam pelanggaran kesusilaan yang dapat dikategorikan sebagai sirik seperti kawin lari (silariang, nilariang, dan erang kale), perzinahan, perkosaan, incest (perbuatan sumbang/salimarak) yakni perbuatan hubungan seks yang dilarang karena adanya hubungan keluarga yang terlalu dekat, misalnya perkawinan antara ayah dengan putrinya, ibu dengan putranya dsb.

Dari beberapa perbuatan asusila itu, maka incestlah/salimarak merupakan pelanggaran terberat, sebab susah untuk diselesaikan karena menyangkut hubungan keluarga yang terlalu dekat, semuanya serba salah. Kalau perkawinan terus dilangsungkan, sangat dikutuk oleh masyarakat, dan kalau perkawinan tidak dilangsungkan, status anak yang lahir nanti bagaimana ? Perbuatan salimarak ini dulu dapat dikenakan hukuman "niladung' yakni kedua pelaku dimasukkan dalam karung kemudian ditenggelamkan kelaut atau ke dalam air sampai mati.

Lain halnya perbuatan asusila lainnya seperti perzinahan, perkosaan, dan kawin lari Penyelesaiannya dapat dilakukan melalui perkawinan secara adat kapan saja, bilamana kedua belah pihak ada persetujuan atau mengadakan upacara abbajik (damai). Sesudah itu tidak ada lagi masalah.

Sejak dari dulu hingga sekarang, perbuatan asusila ini sering kali dilakukan oleh orang-orang tertentu, oleh suku Makassar perbuatan tersebut dianggapnya melanggar sirik. Bila perbuatan asusila terjadi, pihak yang dipermalukan (biasanya dari pihak perempuan yang disebut Tumasirik) berhak untuk mengambil tindakan balasan pada orang-orang yang melanggar siriknya yang disebut "TumannyaIa'.

Jadi, kalau ada anggapan orang luar yang mengatakan sirik itu "kejam" atau "jahat" memang demikian, akan tetapi dibalik kekejaman itu tersimpan makna hidup yang harus dimiliki oleh manusia untuk menjaga harga dirinya, lebih kejam atau lebih jahat, bilamana ada anak yang lahir tanpa ayah. anak haram, kemana anak ini harus memanggil ayah ? Apalagi kalau perbuatan asusila membudaya di negara kita, jelas harkat dan martabat manusia lebih rendah dari pada binatang. Dikatakan demikian, karena binatang melakukan hubungan seks bebas karena memang nalurinya, sedangkan manusia punya otak, pikiran untuk membedakan mana yang baik dan mana yang salah. Alangkah jahatnya bila perbuatan free seks atau "kumpul kebo", membudaya di negara kita, berapa banyak wanita yang harus jadi korban kebuasan seksual ? Justru kehadiran sirik di tengah masyarakat dapat diJadikan sebagai penangkal' kebebasan seks (free sex)

Jenis sirik yang kedua adalah sirik yang dapat memberikan motivasi untuk meraih sukses. Misalnya, kalau kita melihat Orang lain sukses, kenapa kita tidak? Contoh yang paling konkret, suku Makassar biasanya banyak merantau ke daerah mana saja. Sesampai di daerah tersebut mereka bekerja keras untuk meraih kesuksesan, Kenapa mereka bekerja keras ? Karena mereka nantinya malu bilamana pulang kampong tanpa membawa hasil.

Salah satu syair lagu Makassar yang berbunyi:

'Takunjungngak bangung turuk nakugincirik gulingku, kualleanna tallanga natoalia. (Tidak begitu saja ikut angin buritan, dan kemudian saya putar kemudiku, lebih baik tenggelam dari pada balik haluan). Bangung turuk, adalah istilah pelayaran yang berarti angin buritan.

Demikian pula dalam ungkapan Makassar berbunyi:

'Bajikanngangi mateya ri pakrasanganna taua nakanre gallang-gallang na amimotere natena wasselekna' (lebih balk mati dj negeri orang dimakan cacing tanah, daripada pulang kampung tanpa hasil), maksudnya kalau merantau lalu pulang tanpa hasil, akibatnya akan dicemoohkan oleh masyarakat di daerahnya, tapi kalau ia meraih sukses, maka ia dapat dijadikan sebagai teladan bagi masyarakat lainnya.

Salah satu contoh orang Makassar yang merantau karena sirik yakni Karaeng Aji di Pahang. Dia merantau pada Abad XVIII karena sirik. Di Pahang, ia berhasil menjadi Syahbandar Kesultanan. Kemudian, turunannya bemama Tun Abdul Razak berhasil menjadi Perdana Menteri Malaysia. )

Jenis sirik yang ketiga adalah sirik, yang bisa berakibat kriminal. Sirik seperti ini misalnya menempeleng seseorang di depan orang banyak, menghina dengan kata-kata yang tidak enak didengar dan sebagainya tamparan itu dibalasnya dengan tamparan pula sehingga terjadi perkelahian yang bisa berakibat pembunuhan.

Ada anggapan Orang luar bahwa orang Makassar itu "Pabbambangangi na tolo" (pemarah lagi bodoh). Anggapan seperti ini bagi orang Makassar tidaklah sepenuhnya benar, karena tindakan balasan yang dilakukannya bukan karena mereka bodoh, akan tetapi semata-mata ingin membela harga dirinya. Adalah lebih bodoh bila dipermalukan di muka umum lantas diam saja tanpa ada tindakan apa-apa. Yang jelas, memang marah karena harga dirinya direndahkan di depan umum, tapi bukan berarti bodoh.

Jika Orang Makassar merasa harga dirinya direndahkan, jelas mereka akan mengambil tindakan pada orang yang mempermalukan itu. Ada ungkapan orang Makassar "Eja tonpi seng na doang" (nanti setelah merah, baru terbukti udang) maksudnya kalau siriknya orang Makassar dilanggar, tindakan untuk menegakkan sirik itu tidaklah dipikirkan akibatnya dan nanti selesai baru diperhitungkan. Ungkapan inilah yang mendorong orang Makassar untuk menjaga kehormatan diri.

Jenis sirik yang keempat adalah sirik yang berarti malu-malu. Sirik semacam ini sebenarnya dapat berakibat negatifnya bagi seseorang, tapi ada juga positifnya. Misalnya yang ada akibat negatif ialah bila seseorang disuruh tampil di depan umum untuk jadi protokol, tetapi tidak mau dengan alasan sirik'sirik, lni dapat berakibat menghalangi bakat seseorang untuk berani tampil di depan umum. Sebaliknya akibat positif dari sirik-sirik ini, misalnya ada seseorang disuruh untuk mencuri ayam, lalu dia tidak mau dengan alasan sirik-sirik bilamana ketahuan oleh tetangganya.

Mengapa sirik bagi suku Makassar perlu ditegakkan, jawabnya untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Yang menjadi masalah dalam kehidupan manusia ialah adanya dua versi hukum yang saling bertentangan, menyangkut sirik, yakni hukum adat Makassar menginginkan mengambil tindakan balasan terhadap orang-orang yang merendahkan martabatnya dalam arti kata bisa main hakim sendiri, sedang hukum positif (KUHP) melarang sama sekali melakukan tindakan main hakim sendiri. Suatu prinsip bagi suku Makassar, kalau harga dirinya direndahkan, akan melakukan tindakan balasan, Dalam ungkapan orang Makassar "Teai Mangkasarak punna bokona lokok (Bukan orang makassar kalau bahagian beiakangnya luka) maksudnya kalau luka itu ada di bagian belakang berarti orang itu takut berhadapan dengan lawannya, dan sebali knya kalau luka itu ada di bagian depan menandakan keberaniannya.

2.    Istilah Pacce


Pacce secara harfiah bermakna perasaan pedih dan perih yang dirasakan meresap dalam kalbu seseorang karena melihat penderitaan orang lain. Pacce ini berfungsi sebagai alat penggalang persatuan, solidaritas, kebersamaan, rasa kemanusiaan, dan memberi motivasi pula untuk berusaha, sekalipun dalam keadaan yang sangat pelik dan berbahaya.

Dari pengertian tersebut, maka jelasnya bahwa pacce itu dapat memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa, membina solidaritas antara manusia agar mau membantu seseorang yang mengalami kesulitan. Sebagai contoh, seseorang mengalami musibah, jelas masyarakat lainnya turut merasakan penderitaan yang dialami rekannya itu. segera pada saat itu pula mengambil tindakan untuk membantunya, apakah berupa materi atau nonmateri.

Antara sirik dan pacce ini keduanya saling mendukung dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia, namun kadang-kadang salah satu dari kedua falsafah hidup tersebut tidak ada, martabat manusia tetap akan terjaga, tapi kalau kedua-duanya tidak ada, yang banyak adalah sifat kebinatangan. Ungkapan orang Makassar berbunyi "Ikambe Mangkasaraka punna tena sirik nu, pacce seng nipak bulo sibatangngang" (bagi kita orang Makassar kalau bukan sirik, paccelah yang membuat kita bersatu).



B.   Falsafah "Sipakatau"


Sesungguhnya budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita menelusuri secara mendalam, dapat ditemukan bahwa hakikat inti kebudayaan Makassar itu sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai "tau" (manusia), yang manusia dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial amat dijunjung tinggi keberadaannya.

Dari konsep "tau" inilah sebagai esensi pokok yang mendasari pandangan hidup orang Makassar, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan melalui sikap budaya 'sipakatau'. Artinya, saling memahami dan menghargai secara manusiawi.

Dengan pendekatan sipakatau, maka kehidupan orang Makassar dapat mencapai keharmonisan, dan memungkinkan segala kegiatan kemasyarakatan berjalan dengan sewajarnya sesuai hakikat martabat manusia. Seluruh perbedaan derajat sosial tercairkan, tak ada perbedaan antara kaya dan miskin, pimpinan dan bawahan, turunan bangsawan dan rakyat biasa, dan sebagainya. Yang dinilai atas diri seseorang adalah kepribadiannya yang dilandasi sikap budaya sipakatau.

Sikap Budaya Sipakatau dalam kehidupan orang Makassar dijabarkan ke dalam konsepsi Sirik na Pacce. Dengan menegakkan prinsip Sirik na Pacce secara positif, berarti seseorang.telah menerapkan sikap Sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan. Tanpa sikap Sipakatau, manusia akan menjadi seperti binatang yang kejam terhadap sesamanya, kehilangan sifat manusiawinya.

Sipakatau dalam hidup kekerabatan, menjadi salah satu faktor pembina struktur dan tatakrama pergaulan kemasyarakatan. Hanya dalam lingkungan orang-orang yang menghayati dan mampu mengamalkan sikap hidup Sipakatau yang dapat secara terbuka.saling menerima hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.

Sipakatau dalam kegiatan ekonomi, sangat mencela adanya kegiatan yang selalu hendak "annunggalengi" (egois), atau memonopoli lapangan hidup yang terbuka secara kodrati bagi setiap manusia. Azas Sipakatau akan menciptakan iklim yang terbuka untuk saling "sikatallassi" (saling menghidupi), tolong-menolong, dan bekerjasama membangun kehidupan ekonomi masyarakat secara adil dan merata.

Demikianlah Sipakatau menjadi nilai etika pergaulan orang Makassar yang patut diaktualisasikan di segala sektor kehidupan. Di tengah pengaruh budaya asing yang cenderung menenggelamkan penghargaan atas sesama manusia, maka sikap Sipakatau merupakan suatu kendali moral yang harus senantiasa menjadi landasan. Hal ini meningkatkan budaya Sipakatau juga merupakan tuntutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan azas Pancasila, terutama Sila Ketiga yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar