Sosok Pahlawan Pejuang Kemerdekaan
Ranggong Daeng Romo putra kelahiran kampung
Bone-bone Polong Bangkeng Selatan telah mewarisi sifat-sifat ayahnya yang
terkenal sebagai orang kaya dermawan dan pemberani serta disegani oleh rakyat karena
sering membela kaum lemah dari kekejian kaum Belanda. Sifat seperti ini
tertanam dalam jiwa Ranggong Daeng Romo.
Jiwa kepahlawanan dari Ranggong ini mulai
muncul ketika ia masih kecil. Waktu itu orang tuanya berniat menyekolahkan
Ranggong pada sekolah HIS, tapi Ranggong lebih senang memilih sekolah Parti
kelir (Taman Siswa) Sekolah Taman Siswa ini dicap jelek oleh Pemerintah
Belanda, sama sekali tidak mendapatkan penghargaan, tidak sama dengan HIS, MULO
atau sekolah Belanda lainnya.
Suatu ketika, Ranggong belajar, sekolahnya
diserang oleh pelajar-pelajar HIS. Taman Siswa diobrak-abrik, Ranggong marah,
Ia kemudian mengumpulkan teman-temannya dan memimpin serangan balik ke sekolah
Belanda itu (HIS). Nama Ranggong pun mulai terkenal di kalangan para pelajar
partikelir karena kegigihannya. Ia sering dipercayakan untuk memimpin
penyerangan ke Sekolah Belanda (HIS) tersebut.
Ketika Ranggong mulai menginjak dewasa, mulai
menyandang senjata untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Semangat
kemerdekaan terus menyala di dadanya. Ranggong bersama saudara sepupu ayahnya,
Syamsuddin Daeng Makkaraeng membentuk suatu organisasi pertahanan rakyat di
Bone-bone, Polongbangkeng yang diberi nama "Gerakan Muda Bajeng". Tak
lama kemudian, organisasi itu diubah namanya menjadi Kelasykaran Lipang Bajeng.
Lipang adalah sejenis binatang melata yang sengatarnya beracun dan ganas.
Pimpinan Kelasykaran Lipang Bajeng itu sendiri ialah Ranggong Daeng Romo, sedang
saudara sepupu ayahnya diangkat sebagai Kepala Staf.
Sengatan kaum Lipang pun membuat penjajah
jadi kewalahan. Akibatnya organisasi Lipang Bajeng pun mulai dikenal oleh
kelompok pejuang lainya. Dari hasil galangan kerjasama ini melahirkan suatu
organisasi baru yang menghimpun semua kelompok pejuang di Sulawesi Selatan pada
tanggal 17 Juni 1946 dengan nama "Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia
Sulawesi Selatan" (LAPRIS) sebagai pengurus Lapris tercatat Makkaraeng
Daeng Manjarungi sebagai ketua, sedang R.W. Monginsidi sebagai Sekjen. Dan.
sebagai pimpman pasukan ialah Ranggong Daeng Romo dan sebagai wakil ialah R.
Endang.
Semenjak Ranggong menjadi Panglima tertinggi
Lapris ini berbagai upaya yang dilakukan untuk merebut kemerdekaan yakni
mulanya Ranggong mengajak Kesatuan Gerakan Pemuda Bajeng, yang dipimpin oleh
Nuhung Daeng Bani untuk merampas senjata Jepang yang bermarkas di Kampung
Coring, tepat pada malam yang ditentukan sebelum tanggal 17 Agustus 1945.
Ranggong bersama anak buahnya menyerbu gudang senjata itu dengan berhasil merampas
beberapa pucuk senjata kemudian dibagi-bagikan kepada pejuang,di Bajeng.
Tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 Proklamasi
Kemerdekaan dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta, namun menurut Baharuddin Daeng
Sarro salah seorang rekan seperjuangan Ranggong Daeng Romo bahwa bendera merah putih
itu lebih dulu dikibarkan di Bajeng daripada di Jakarta yakni 14 Agustus 1945.
Melihat keadaan itu, Belanda melalui tentara NICA-nya dipimpin oleh Mr.T.K.Pol
bekas Controleur di Sungguminasa mengadakan penyerbuan dan menurunkan Sang Saka
Merah Putih serta menggantikan dengan bendera Merah Putih Biru (bendera
Belanda). Saat penyerbuan itu, Nuhung Daeng Bani ditangkap dan dipaksa
menunjukkan tempat persembunyian pimpinan Lapris, namun Nuhung Daeng Bani tak
mau menceritakannya, akhirnya Nuhung jatuh sakit dan meninggal.
Demikian pula halnya Pemirnpin Gerakan Pemuda
Bajeng di Limbung. Setelah Nuhung Daeng Bani gugur, ia digantikan oleh Patola
Dg Sibali dan Sultan Dg Mile sebagai Sekretarisnya yang telah bergabung dengan
Ranggong Daeng Romo untuk meyusun kembali kekuatan menggempur musuh yang
menduduki Limbung dan Pare'-Pare' sebagai pangkalan kekuatan Belanda. Pada
tanggal 17 Agustus 1945 Bendera Merah Putih berkibar di.depan Istana Kerajaan
Gowa (Balla Lompoa) yang dilakukan oleh Andi Baso Erang dkk. Atas peristiwa itu
sehingga Baso Erang diasingkan ke Jeneponto. Setelah itu ia pindah ke Sinjai untuk
memimpin pasukan dalam meneruskan perjuangan kemerdekaan.
Tepat pada tanggal 18-19 Agustus 1946,
Ranggong dan kawan-kawanya menyerang pos polisi Belanda yang kebetulan waktu
itu hanya dijaga oleh beberapa orang saja. Polisi Belanda melarikan diri tanpa
mengadakan perlawanan. Pos Polisi dan Kantor Bestuur Asisten di Limbung
dibakar, sedang kedudukan musuh di Pare'-pare' dibumihanguskan serta membunuh
salah seorang kaki tangan Behanda bemama Jumam, dan merampas beberapa pucuk senjata.
Tapi, pada keesokan harinya Belanda mengadakan penangkapan terhadap
pemuda-pemuda yang dicurigai serta mengadakan pemeriksaan di luar batas
kemanusiaan. Waktu itu banyak pemuda Bajeng yang ditawan
Pihak Belanda terus-menerus mengadakan
penangkapan terhadap pemuda Bajeng hingga mencapai puncak pada,tanggal 7
Desember 1946. Waktu itu, tentara Belanda memasuki daerah-daerah pedesaan untuk
menangkap pemuda kemudian membunuhnya, peristiwa ini terkenal dengan nama
"Korban 40.000 Jiwa".
Dua bulan kemudian tepatnya 28 Februari 1947
secara tidak disangka-sangka Belannda mengepung tempat persembunyian pimpinan
Lapris di Gunung Langgese. Oleh karena kekuatan tidak seimbang, akhirnya
Ranggong Daeng Romo gugur di medan perang bersama kawan-kawan seperjuangan lainnya,
antara lain Sonda Daeng Leo (Jannang Pajalau). Pejuang lainnya yang tertangkap
hidup dibuang ke Nusakambangan. Sedang kawan seperjuangannya yang lolos adalah
Sonrong dg. Mangung. Lahia Dg. Lallo dan Kende Dg. Sutte. Kedudukan Ranggong
Daeng Romo ini kemudian digantikan oleh Mappa Daeng Temba sebagai pimpinan
tertinggi LAPRIS.
Saya Bangga sebagai cucu dari Sonrong Dg Mangung kawan seperjuangan Ranggong Daeng Romo
BalasHapusSelamat sore kak. Saya mau brtanya. Di kenal mappa daeng temba' ? Pemimpin lapris setelah ranggong daeng romo meninggal.
Hapus